Sabtu, 09 Maret 2013

DEGRADASI LAHAN-

      Degradasi lahan merupakan menurunnya kualitas dan kuantitas suatu lahan yang meliputi beberapa aspek, seperti aspek fisika tanah, kimia tanah, biologi tanah, pada suatu luasan lahan. Dalam praktek budidaya pertanian sendiri sering akan menimbulkan dampak pada degradasi lahan. Dua faktor penting dalam usaha pertanian yang potensial menimbulkan dampak pada sumberdaya lahan, yaitu tanaman dan manusia (sosio kultural) yang menjalankan pertanian. Diantara kedua faktor, faktor manusia  yang dapat memberikan dampak positip atau negatip pada suatu lahan, tergantung dalam pengelolaan pertanian yang dilakukan. Apabila dalam menjalankan pertaniannya benar maka akan berdampak positip, namun apabila cara menjalankan pertaniannya salah maka akan berdampak negatif. Kegiatan menjalankan pertanian atau cara budidaya pertanian yang  menimbulkan dampak antara lain meliputi kegiatan pengolahan tanah, penggunaan sarana produksi yang tidak ramah lingkungan (pupuk dan insektisida) serta sistem budidaya termasuk pola tanam yang mereka gunakan.
Faktor alami penyebab degradasi tanah antara lain: areal berlereng curam, tanah yang muda rusak, curah hujan intensif, dan lain-lain. Faktor degradasi tanah akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan oleh faktor alami, antar lain: perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial dan ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak tepat. Penebangan hutan pada lahan yang kritis, penebangan secara berlebihan dari vegetasi, penanaman yang selalu berganti, penggembalaan yang berlebih, ketidakseimbangan penggunaan pupuk dan praktek managemen konservasi lahan yang salah, pemompaan air tanah yang berlebih adalah beberapa faktor yang mana disebabkan oleh campur tangan manusia yang mengakibatkan erosi tanah.
Tiga faktor penyebab degradasi tanah akibat campur tangan manusia secara langsung, yaitu : pertanian intensif, pembukaan tambang, deforestasi. Faktor-faktor tersebut di Indonesia pada umumnya terjadi secara simultan, berikut adalah pembahasan dari ketiga degradasi pada tiga bidang.
1.   DEGRADASI LAHAN PERTANIAN
Aktivitas pertanian juga dapat menyebabkan dampak yang merugikan. Erosi dan kerusakan tanah terjadi akibat budi daya pertanian yang melampaui daya dukung tanah. Penggunaan bahan-bahan agrokimia yang berlebihan dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kelestarian lahan. Cara-cara budi daya pertanian yang tidak mengindahkan kaidahkaidah konservasi lahan menyebabkan kualitas lahan menurun sejalan dengan hilangnya lapisan tanah subur akibat erosi dan pencucian hara. Dampak negatip harus kita hilangkan atau kita tekan menjadi seminim mungkin. Kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap degradasi lahan antara lain kegiatan deforesterisasi, industri, pertambangan, perumahan, dan kegiatan pertanian sendiri. Apabila kegiatan tersebut tidak dikelola dengan baik, maka akan mengakibatkan terjadinya degradasi lahan pertanian yang mengancam keberlanjutan uasaha tani dan ketahanan pangan. Oleh karenanya, dalam kegiatan pembangunan hendaknya harus dipikirkan keberlanjutannya dimasa mendatang (sustainabilitas).
Dalam praktek budidaya pertanian sendiri sering akan menimbulkan dampak pada degradasi lahan. Kegiatan menjalankan pertanian atau cara budidaya pertanian yang menimbulkan dampak antara lain meliputi kegiatan pengolahan tanah, penggunaan sarana produksi yang tidak ramah lingkungan (pupuk dan insektisida) serta sistem budidaya termasuk pola tanam yang mereka gunakan. Pembangunan pertanian konvensional yang telah kita lakukan masa lalu nampaknya belum menjamin keberlanjutan program pembangunan pertanian. Kita berevaluasi diri, setelah lebih dari 30 tahun menerapkan pembangunan pertanian nasional kita menghadapi beberapa indikator yang memprihatinkan :
1.      Tingkat produktivitas lahan menurun
2.      Tingkat kesuburan lahan merosot
3.      Konversi lahan pertanian semakin meningkat
4.      Luas dan kualitas lahan kritis semakin meluas
5.      Tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan pertanian meningkat
6.      Daya dukung likungan merosot
7.      Tingkat pengangguran di pedesaan meningkat
8.      Daya tukar petani berkurang
9.      Penghasilan dan kesejahteraan keluarga petani menurun, dan
10.  Kesenjangan antar kelompok masyarakat meningkat.
Dari evaluasi tersebut degradasi lahan, penurunan daya dukung lahan dan pencemaran lahan pertanian menjadi ancaman yang serius yang harus perlu kita hindari. Beberapa hal yang sangat mempengaruhi dalam degradasi lahan pertanian adalah:
Pencemaran Agrokimia.
Penggunaan bahan-bahan agrokimia, seperti pupuk dan pestisida yang berlebihan dapat mencemari tanah, air, tanaman, dan sungai atau badan air. Pupuk nitrogen (N) yang digunakan dalam budidaya pertanian mengalami berbagai perubahan di dalam tanah, seperti dalam bentuk ammonium (NH4), nitrat (NO3), dan/atau nitrit (NO2). Sebagian dari N pupuk (NH3/N2 dan N2O) menguap ke udara (volatilisasi), sebagian lagi hilang melalui pencucian atau erosi. Di daerah tropis, 40-60% N-urea hilang dalam bentuk NH3. Penggunaan pupuk N dosis tinggi, seperti pada budi daya sayuran dataran tinggi, dapat mencemari lingkungan, karena sebagian besar N dari pupuk hanyut terbawa aliran permukaan dan erosi.
Dampak negatif lain dari penggunaan agrokimia antara lain berupa pencemaran air, tanah, dan hasil pertanian, gangguan kesehatan petani, menurunya keanekaragaman hayati, ketidak berdayaan petani dalam pengadaan bibit, pupuk kimia dan dalam menentukan komoditas yang akan ditanam. Penggunaan pestisida yang berlebih dalam kurun yang panjang, akan berdampak pada kehidupan dan keberadaan musuh alami hama dan penyakit, dan juga berdampak pada kehidupan biota tanah. Hal ini menyebabkan terjadinya ledakan hama penyakit dan degradasi biota tanah. Penggunaan pupuk kimia yang berkonsentrasi tinggi dan dengan dosis yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang menyebabkan terjadinya penurunan kesuburan tanah karena terjadi ketimpangan hara atau kekurangan hara lain, dan semakin merosotnya kandungan bahan organik tanah.
Akibat dari ditinggalkannya penggunaan pupuk organik berdampak pada penyusutan kandungan bahan organik tanah, bahkan banyak tempat-tempat yang kandungan bahan organiknya sudah sampai pada tingkat rawan, sekitar 60 persen areal sawah di Jawa kadungan bahan organiknya kurang dari 1 persen. Sementara, system pertanian bisa menjadi sustainable (berkelanjutan) jika kandungan bahan organik tanah lebih dari 2 %. Bahan organik tanah disamping memberikan unsur hara tanaman yang lengkap juga akan memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah akan semakin remah. Namun jika penambahan bahan organik tidak diberikan dalam jangka panjang kesuburan fisiknya akan semakin menurun.
Pencemaran Industri.
Pembangunan kawasan industri pada areal pertanian subur, produktif, dan potensial selain mengurangi luas lahan pertanian, juga sering kali menimbulkan permasalahan lingkungan bagi masyarakat sekitarnya, yaitu pencemaran bahan berbahaya dan beracun (B3) melalui limbahnya. Limbah industri yang dibuang ke badan air atau sungai dan lingkungan sekitarnya dapat mencemari tanah, air, dan tanaman apabila digunakan sebagai sumber air pengairan. Pada umumnya tanaman tidak mengalami gangguan fisiologis, namun kualitas hasil/produk pertanian tercemari berbahaya bagi konsumen.
Dampak yang ditimbulkan dapat berupa gas buang seperti belerang dioksida (SO2) akan menyebabkan terjadinya hujan asam dan akan merusak lahan pertanian. Disamping itu, adanya limbah cair dengan kandungan logam berat beracun (Pb, Ni, Cd, Hg) akan menyebabkan degradasi lahan pertanian dan terjadinya pencemaran dakhil. Limbah cair ini apa bila masuk ke badan air pengairan, dampak negatipnya akan meluas sebaranya. Penggalakan terhadap program kalibersih dan langit biru perlu dilakukan, dan penerapan sangsi bagi pengusaha yang mengotori tanah, air dan udara.
 
Alih fungsi lahan
Konversi lahan pertanian yang semakin meningkat akhir-akhir ini merupakan salah satu ancaman terhadap keberlanjutan pertanian. Salah satu pemicu alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain adalah rendahnya isentif bagi petani dalam berusaha tani dan tingkat keuntungan berusahatani relatif rendah. Selain itu, usaha
pertanian dihadapkan pada berbagai masalah yang sulit diprediksi dan mahalnya biaya pengendalian seperti cuaca, hama dan penyakit, tidak tersedianya sarana produksi dan pemasaran. Alih fungsi lahan banyak terjadi justru pada lahan pertanian yang mempunyai produktivitas tinggi menjadi lahan non-pertanian. Dilaporkan dalam periode tahun 1981- 1999, sekitar 30% (sekitar satu juta ha) lahan sawah di pulau Jawa, dan sekitar 17% (0,6 juta ha) di luar pulau Jawa telah menyusut dan beralih ke non-pertanian, terutama ke areal industri dan perumahan.
Banyak areal lumbung beras nasional kita yang beralih guna seperti dipantura dan seperti pusat pembangunan di dalam pinggir perkotaan. Daerah pertanian ini umumnya sudah dilengkapi dengan infrastruktur pengairan sehingga berproduksi tinggi. Alih guna lahan sawah ke areal pemukiman dan industri sangat berpengaruh pada ketersedian lahan pertanian, dan ketersediaan pangan serta fungsi lainnya.
2.   DEGRADASI HUTAN HUJAN TROPIS DI INDONESIA
Hutan hujan tropis Indonesia merupakan salah satu hutan yang paling terancam di muka bumi. Antara tahun 1990 – 2005, negara ini telah kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan, termasuk 21,7 persen hutan perawan. Penurunan hutan-hutan primer yang kaya secara biologi ini adalah yang kedua di bawah Brazil. Jumlah hutan-hutan di Indonesia makin menurun dan banyak dihancurkan karena  aktivitas manusia. Data pada tahun 1960-an, sebanyak 82% luas negara Indonesia ditutupi oleh hutan hujan, turun menjadi 68% di tahun 1982, 53% di tahun 1995, dan 49% pada saat ini. Umumnya, hutan tersebut bisa dikategorikan sebagai hutan yang telah terdegradasi.
Manusia adalah penyebab utama terdegradasinya hutan hujan tropis. Di Indonesia, aktivitas manusia yang merusak hutan antara lain penebangan kayu, penambangan di wilayah hutan, agrikultur, konstruksi jalan raya, perkampungan, dan peternakan. Hutan di Indonesia kini sedang dalam kondisi yang parah karena kehilangan lebih dari dua juta hektare area hutan pada setiap tahun. Kerusakan terutama terjadi di hutan hujan tropis di pulau Kalimantan.
Penebangan Kayu
Penebangan hutan di Indonesia telah memperkenalkan beberapa daerah yang paling terpencil, dan terlarang di dunia pada pembangunan. Penebangan hutan dilakukan dengan alasan kebutuhan kayu untuk bangunan dan kayu bakar. Aktivitas penebangan hutan di Indonesia, dilakukan oleh masyarakat dan perusahaan-perusahan industry kayu baik secara legal maupun illegal. Praktek penebangan hutan sangat luas terjadi di pulau Kalimantan dan Papua, di mana perusahaan kayu terus masuk semakin dalam ke daerah interior untuk mencari pohon yang cocok. Hal tersebut telah menimbulkan kerusakan yang semakin parah pada hutan hujan di Indoensia.
 

 Pertanian Di Hutan Hujan
Setiap tahun, penenbangan hutan dilakukan untuk lahan pertanian. Ada dua dua kelompok yang terlibat dalam mengubah hutan hujan menjadi tanah pertanian yaitu penduduk setempat (petani) dan perusahaan dalam bidang pertanian. Para petani miskin menggunakan cara tebang dan bakar untuk membersihkan bidang tanah di hutan. Biasanya mereka bercocok tanam di bidang tanah tadi untuk beberapa tahun hingga tanah kehabisan nutrisi dan setelah itu mereka harus berpindah ke suatu bidang tanah baru di dalam hutan dan melakukan hal yang sama kembali. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya program transmigrasi ke lokasi hutan hujan tropis pada beberapa dasawarsa terakhir. Sedangkan perusahaan bidang pertanian banyak menggunakan jasa penduduk lokal, dipekerjakan untuk membuka hutan dengan cara tebang dan bakar. Kemudian lahan tersebut digunakan untuk tanaman monokultur seperti kelapa sawit.
Aktivitas Pertambangan
Pertambangan merupakan salah satu penyebab terbesar hilangnya hutan hujan tropis di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan sangat jelas terutama hutan hujan tropis di Kalimantan. Luas hutan hujan berkurang secara luar biasa oleh aktivitas pertambangan baik legal dan ilegal. Kerusakan hutan Kalimantan telah berdampak pada erosi massal, pendangkalan sungai dan berujung pada bencana banjir. Banyak aktivitas pertambangan lain di Indonesia memiliki wilayah operasi di dalam hutan hujan tropis yang dilindungi, seperti di Sumatera, Sulawesi,  dan Papua. Semuanya berkontribusi besar dalam proses degradasi hutan hujan tropis, meskipun tetap dilakukan upaya rehabilitasi purnatambang.
 
Hewan Ternak Di Hutan Hujan
Membersihkan hutan untuk menggembalakan hewan ternak adalah penyebab utama hilangnya hutan di Amazon, dan Brazil saat ini memproduksi daging sapi lebih banyak dari sebelumnya. Selain beternak untuk makan, banyak pemilik tanah menggunakan hewan ternak mereka untuk meluaskan tanah mereka. Hanya dengan menaruh hewan ternak mereka di suatu wilayah di hutan, para pemilik tanah bisa mendapatkan hak kepemilikan bagi tanah tersebut. Untuk di Indonesia, aktivitas peternakan di hutan hujan tropis tidak berpengarth signifikan karena peternakan oleh penduduk umumnya masih tradisional.
3.   DEGRADASI LAHAN BEKAS TAMBANG
Usaha pertambangan yang sering dilakukan diatas lahan yang subur atau hutan yang permanen. Dampak negatif pertambangan dapat berupa rusaknya permukaan bekas penambangan yang tidak teratur, hilangnya lapisan tanah yang subur, dan sisa ekstraksi (tailing) yang akan berpengaruh pada reaksi tanah dan komposisi tanah. Sisa ektraksi ini bisa bereaksi sangat asam atau sangat basa, sehingga akan berpengaruh pada degradasi kesuburan tanah. Semakin meningkatnya kebutuhan akan bahan bangunan terutama batu bata dan genteng, akan menyebabkan kebutuhan tanah galian juga semakin banyak (galian C). Selain itu Pertambangan sering mengubah atau menghilangkan bentuk permukaan bumi (landscape). Kegiatan pertambangan yang dilakukan secara terbuka (opened mining) membuka vegetasi/pohon-pohonan, menggali tanah di bawahnya, dan meninggalkan lubang-lubang besar di permukaan bumi. Untuk memperoleh bijih tambang, permukaan tanah dikupas dan digali menggunakan alat-alat berat seperti buldoser dan backhoe. Para pengelola pertambangan umumnya meninggalkan areal bekas tambang tanpa melakukan rehabilitasi dan/atau reklamasi lahan, sehingga tidak sejalan dengan komitmennya dalam pengendalian dampak lingkungan. Bagi para pengelola pertambangan perlu ditegaskan kembali tentang kewajibannya dalam melaksanakan rehabilitasi/ reklamasi lahan yang mengalami kerusakan. Ini sebagai tanggung jawabnya dalam pengelolaan lingkungan hidup, sehingga sanksi yang sesuai dan tegas dapat dikenakan.

Laju degradasi lahan di dunia sampai saat ini masih tergolong tinggi, dengan tingkatan laju degradasi lahan di dunia ini sebesar 12 Juta hektar per tahunnya. Tingkat degradasi yang sedemikian besar memberikan dampak terhadap sedikitnya 1,5 Miliar penduduk yang berada di muka bumi ini. Jika hal ini tidak secepatnya diatasi, maka bencana kelaparan dan kekurangan air akan mengancam kehidupan kemanusiaan.
Banyaknya kejadian bencana alam  berupa kekeringan dan banjir di berbagai negara merupakan bagian dari efek degradasi lahan yang terjadi selama ini, sehingga menurunkan kemampuan bumi untuk menahan laju perubahan iklim. Saat alam mengalami kerapuhan akibat degradasi lahan, maka perlu untuk segera dilakukan kegiatan penangulangannya.
Kontribusi Kementerian Kehutanan dalam penanggulangan Degradasi lahan
Di Indonesia, kementerian Kehutanan memiliki tangggung jawab moral serta teknis untuk mencegah terjadinya laju degradasi lahan. Kementerian Kehutanan mengemban kewajiban untuk menyuarakan dan menggerakkan kesadaran masyarakat, supaya bisa bersama-sama memperbaiki lingkungan dan mencegah degradasi lahan guna menjamin kesejahhteraan masyarakat. Salah satu upaya nyata kementerian kehutanan dalam mencegah laju degradasi hutan dalam hal teknis dengan menggalakkan kegiatan penanaman lahan gundul dan tidak produktif untuk dihutankan kembali. Dari Program gerakan rehabilitasi hutan (GERHAN), One Man On Tree (OMOT) dan yang terakhir gerakan One Bilion Indonesia Tree (OBIT).
Hasil nyata yang bisa dirasakan dari kegiatan diatas adalah prestasi penurunan laju deforestasi di Indonesia, yang awalnya sebesar 3,5 Juta hektar pada kurun waktu 1996-2000, terus menurun hingga periode 2009-2011 sebesar 0,45 juta hektar.
Selain mencanangkan kegiatan penanaman, komitmen pemerintah dalam menekan laju deforestasi yang berimbas terhadap degradasi laha juga sangat baik, dimana diberlakukannya moratorium izin baru konversi hutan alam primer dan lahan gambut melalui Inpres no. 10/2011. Kegiatan Penegakan hukum terhadap pembalakan liar dan perambahan hutan  juga semakin gencar dilakukan dengan melakukan optimalisasi fungsi Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC).
Penanggulangan Degradasi lahan Untuk kesejahteraan masyarakat
Pada tahun 2012 ini, di tingkat internasional penyelenggaraan peringatan Hari Penanggulangan Degradasi lahan di Dunia diselenggarakan di Rio de Jeneiro pada tanggal 17 Juni yang lalu, sebelum dimulainya konferensi Rio+20. Dalam konfensi PBB, peringatan tahun ini menetapkan slogan “HEALTHY SOIL SUSITAINS YOUR LIFE : LET’S GO LAND-DEGRADATION NEUTRAL” (tanah sehat menopang hidupmu : Mari Hentikan Degradasi lahan”
Penaggulangan degradasi lahan menjadi pekerjaan besar untuk menyelamatkan kehidupan manusia masa depan. mengingat lahan adalah sumberdaya yang terbatas dan tidak bisa dilipatgandakan, maka optimalisasi penggunaan lahan menjadi alternative paling memungkinkan untuk menyelamatkan kehidupan, mengingat pertambahan jumlah penduduk di dunia ini selalu mengalami peningkatan. Menurut catatan Geohive (sebuah situs statisik kependudukan dunia) Pada awal tahun 2007, penduduk dunia sejumlah 6.647.186.407 (enam milyar enam ratus empat puluh tujuh juta seratus delapan puluh enam ribu empat ratus tujuh) jiwa. Dan pada tahun 2011, jumlah penduduk dunia menembus pada angka 7  Miliar jiwa. Dengan laju pertambahan penduduk yang cukup ekstrem, maka diperlukan upaya serius untuk menganggulangi degradasi lahan yang masih terus terjadi hingga saat ini.
Saat penduduk bertambah, kebutuhan akan papan (tempat tinggal) semakin besar dan kebutuhan akan bahan pangan juga semakin meningkat. Jika kebutuhan papan tidak bisa tersedia untuk masyarakat, akan terjadi aksi penyerobotan lahan hutan untuk dijadikan pemukiman. Demikian pula jika kebutuhan pangan tidak bisa dipenuhi, maka akan terjadi penyerobotan dan penebangan hutan secara illegal untuk dijadikan lahan perkebunan untuk menanam tanaman pangan. Jika sidah tidak terdapat lahan potensial untuk ditanami tanaman pangan, maka maka ancaman yang terberat adalah terjadinya kelaparan massal bagi penduduk di bumi ini. Salah satu alternative yang ditawarkan kementerian kehutanan untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi masyarakat tanpa merusak hutan dengan cara sistem tumpang sari dalam lahan tanaman hutan. Sistem tumpangsari ini merupakan teknik penanaman tanaman palawija / tanaman pangan diantara sela sela tanah kosong tanaman kayu. Dengan sistem tumpang sari ini diharapkan bisa lebih mengoptimalkan penggunaan lahan serta bisa membantu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat sekitar hutan.
Dengan optimalisasi lahan serta adanya keamanan lahan dari ancaman degradasi secara tidak langsung akan berkontribusi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Semoga…….

2 komentar: